Sejak lulus dari Madrasah Ibtidaiyah, Faza sudah membuat geger keluarganya sendiri. Bukan karena kenakalan atau prestasi mencolok, tapi karena keinginannya yang keras kepala: ingin mondok.
“Ibu, Bapak… aku mau ke pesantren,” katanya suatu sore, begitu raport MI-nya dibagikan.
Ibunya langsung menangis. Bapaknya menghela napas panjang. Di kampungnya, sekolah negeri adalah jalan normal—dari SD, SMP, SMA, lalu kerja atau kuliah. Tapi Faza justru ingin jalan lain. Bahkan dia sendiri tak bisa menjelaskan kenapa. Yang ia tahu, hatinya terasa tertarik, seperti ada suara halus yang terus membisik, “Belajarlah agama, pahamilah.”
Akhirnya, dengan berat hati, orang tuanya mengalah. Faza pun dipondokkan di pesantren salaf murni. Tak ada sekolah formal di sana. Hanya kitab kuning, halaqah, ngaji sorogan, dan baris-baris tulisan arab gundul yang tak bersuara kecuali jika dibaca dengan hati.
Tapi Faza bahagia. Sangat. Ia menjalani semuanya dengan tekun. Dari bangun dini hari hingga tidur larut malam, semua demi satu hal: ngerti agama. Bahkan saat pemerintah membawa program Wajar Dikdas 9 tahun ke pondoknya, ia tetap mengikuti, bukan karena ingin ijazah, tapi karena itu bagian dari tanggung jawab santri juga.
Suatu malam, setelah beberapa tahun di pesantren, Faza merasakan lagi suara itu. Kali ini lebih kuat: “Hafalkan Al-Qur’an.”
Ia pun sowan ke kiainya, mohon izin untuk mencari pesantren tahfidz. Faza tak tahu harus ke mana. Tapi seperti biasa, jalan ikhlas selalu dijawab oleh langit. Kiainya memberi nama pesantren tahfidz yang bagus meskipun lokasinya di luar provinsi, dan harus ditempuh selama 12 jam perjalanan.
Faza tak ragu. Ia berangkat hanya berbekal restu dan niat. Di pesantren baru itu, perjuangannya dimulai lagi. Kali ini lebih berat. Setiap hafalan harus ditasmi’ 30 juz sekali duduk. Tapi Allah memudahkan. Dalam waktu satu tahun, ia khatam hafalan Al-Qur’an.
Usai mengabdi selama satu tahun, ia kembali merasa ada sesuatu yang belum tuntas. Ia sadar, di luar pesantren, orang-orang butuh ijazah. Ia belum punya. Maka ia ikut program kejar Paket C, dan lagi-lagi lulus dengan lancar.
Seolah takdir menyusunnya diam-diam, pondok lamanya kini bertransformasi menjadi salaf modern, bahkan menyediakan kuliah. Faza pun kembali, bukan untuk nostalgia, tapi untuk menimba lagi ilmu, kali ini di jenjang S1. Ia memilih jurusan yang tak populer: Hukum Keluarga Islam.
“Kenapa kamu ambil jurusan itu?” tanya temannya.
Faza hanya tersenyum. Ia tak tahu pasti. Ia hanya ingin ngerti lebih dalam tentang agama, dan itulah cabang yang paling dekat dengan dunia nyata tentang pernikahan, waris, perceraian, hingga konflik rumah tangga. Hal-hal yang manusiawi.
Empat tahun berlalu. Faza lulus. Menyandang gelar Sarjana Hukum. Masih dengan prinsip awal: belajar, bukan berencana. Ia tidak tahu akan jadi apa. Yang penting, sudah belajar, sudah menunaikan.
Tapi hidup ternyata punya cara sendiri untuk memetik benih ikhlas.
Suatu hari, KUA di daerahnya membuka lowongan untuk penyuluh agama non-PNS. Syaratnya? Harus lulusan Hukum Keluarga Islam. Faza mencoba. Dan lulus.
Dua tahun kemudian, datang lagi angin kebaikan. Pemerintah membuka formasi penyuluh agama untuk jalur PPPK. Faza mencoba lagi-lagi tanpa ekspektasi berlebihan. Dan lagi-lagi lulus.
Kini, setiap pagi ia pergi ke masyarakat. Menjadi jembatan antara ajaran dan kenyataan. Memberi penyuluhan, mendamaikan pasangan, membimbing calon pengantin, dan menenangkan jiwa-jiwa yang resah.
Faza tersenyum setiap kali melihat masa lalunya. Ia ingat bagaimana ia dulu memaksa orang tuanya agar mondok. Ia juga ingat, tak sekalipun ia punya cita-cita besar. Ia hanya ingin belajar. Hanya ingin tahu. Tapi dari niat sederhana itu, Allah justru membuka jalan yang luar biasa.
Jalan yang tak pernah ia rancang. Tapi ternyata, itulah jalan terbaik.
Cerpen ini ditulis Oleh: Sufyan Arif, S.H Penyuluh Agama Islam asal Kabupaten Lumajang Jawa Timur